Literasi

Pesan Yansen TP kepada Warga Dayak (1): Hadapi Tantangan dan Peluang Era Keterbukaan dan Persaingan Global!

Senin, 5 Agustus 2024, 21:49 WIB
Dibaca 386
Pesan Yansen TP kepada Warga Dayak (1): Hadapi Tantangan  dan Peluang  Era Keterbukaan dan Persaingan Global!
Yansen TP

Pepih Nugraha

Penulis senior

Adil Ka’talino, Bacuramin Ka’suraga, Basingat Ka’jubata”.

Penggerak literasi nasional Yansen TP memulai paparannya selaku pembicara utama dengan kalimat berbahasa berbahasa Ahe yang biasa diucapkan etnis Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat. Kalimat itu bermakna, “bersikap adil kepada manusia, bercermin seperti di surga, memahami kehidupan manusia yang tergantung kepada Tuhan”. Bacuramin bermakna juga berpandangan hidup dan berkata baik. Peserta yang paham dengan kalimat pembuka akan otomatis menjawab “Arus, arus, arus” sebanyak tiga kali.

Dengan sapaan ini saja Yansen yang menjabat wakil gubernur Kalimantan Utara paham benar prinsip “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, mengingat ia beretnis Dayak Lundayeh di Kalimantan Utara yang secara filologis berbeda dengan Dayak Kanayatn. Sedangkan paparan Yansen dilakukan di Sekadau, Kalimantan Barat, saat peresmian Gedung Rektorat Institut Teknologi Keling Kumang, Senin 5 Agustus 2024.

Usai mengucapkan semboyan tersebut, Yansen menggugah hadirin dengan presentasi “7 Atensi” yang perlu direnungkan bersama selaku etnis Dayak yang mendiami bumi Kalimantan atau Dayak yang telah berdiaspora di mana pun mereka berada.

Ketujuh perhatian yang perlu direnungkan itu berupa pernyataan biasa, interogatif, dan imperatif yang membentuk narasi utuh, yakni; 1. Apakah Dayak memerlukan pengakuan? 2. Tidak! Dayak tidak memerlukan pengakuan dan tidak perlu menuntut pengakuan, karena 3. Dayak memiliki akar budaya di Bumi Kalimantan, 4. Dayak memiliki sejarah, melahirkan peradaban Indonesia pada abad ke-4 di mana hidupnya Kerajaan Hindu tertua di Indonesia, 5. Apakah agama Budha jatuh dari langit? 6. Tidak! Penyebar ajaran Hindu datang karena ada peradaban maju di Kalimantan Ketika itu, 7. Siapa pembuat sejarah masa lalu di Kalimantan?

Pertanyaan terakhir ini benar-benar mengajak hadirin untuk berpikir, bahwa Dayak sebagai entitas suku maupun budaya bukan semata-mata objek, melainkan subjek atau pelaku sejarah itu sendiri. Maknanya, sejarah masa lalu tidak semata-mata hadirnya warga luar dari Kerajaan lain (India) yang datang ke Kalimantan, tetapi warga Dayak sendiri yang mendiami pulau ini telah memiliki budaya dan peradabannya sendiri.

Kepada ratusan hadirin Yansen menyampaikan “7 Tantangan Global” yang sedang menghadang dunia yang berimbas kepada warga negara Indonesia, bahkan warga Dayak selaku etnis yang mayoritas mendiami Pulau Kalimantan.

Pertama, transformasi teknologi informasi yang sangat pesat, perkembangan teknologi digital, kecerdasan buatan, dan otomatisasi dalam dunia kerja. Perkembangan teknologi yang bila dikerucutkan menjadi “digital” itu harus disikapi dengan bijak namun smart mengingat sifat dari teknologi yang senantiasa tampil sebagai pedang bermata dunia, yakni sisi baik maupun sisi buruk yang ada dalam teknologi informasi tersebut. Semua teknologi digital itu mewujud dalam bentuk ponsel berinternet (smartphone) yang semakin tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk warga Dayak.

Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) yang juga telah menjadi kelengkapan mesin ponsel dalam bentuk ChatGPT telah menjadi tantangan bagi para penulis, wartawan, pelukis, desainer, fotografer, videografer, bahkan guru dengan pertanyaan-jawaban interaktif yang mencengangkan. Tidak aneh jika Yuval Noah Harari, penulis “sejarah masa kini” mendaftar adanya 21 profesi yang terancam oleh kecanggihan teknologi informasi dan AI pada abad ke-21 ini. Apa yang diingatkan Yansen tentang otomatisasi dalam dunia kerja yang mengancam semakin membengkaknya pengangguran tidak lain dari ancaman robotisasi akibat berkembangnya teknologi digital yang tersambung ke Internet atau biasa disebut IoT, Internet of Things.

Kedua, tantangan lingkungan dan iklim yang meningkat, perubahan iklim (El Nino, Efek Rumah Kaca), kelangkaan sumber daya dan degradasi lingkungan yang telah menjadi isu global. Hutan Kalimantan yang sering dipandang sebagai paru-paru dunia menjadi perhatian khusus karena tudingan “tak beralasan” dari sementara pihak yang tidak mengetahui duduknya persoalan, bahwa rusaknya hutan Kalimantan akibat pembakaran hutan oleh sementara etnis Dayak. Padahal, pembakaran hutan merupakan kearifan lokal warga Dayak dalam memelihara kelestarian hutan. Dalam sebuah paparan di Bapennas, Yansen menunjukkan bukti bahwa hutan Kalimantan yang tadinya gundul justru semakin menghijau dari masa ke masa di wilayah yang dihuni etnis Dayak.  

Ketiga, tantangan budaya dan identitas, serangan budaya luar yang mengancam kelestarian budaya dan identitas Dayak. Penetrasi budaya luar yang semula masuk melalui media elektronik terutama televisi dan film kerap mempengaruhi identitas suatu bangsa kini melalui ponsel di telapak tangan. Melalui ponsel, siapapun dapat mengakses film di Netflix dan Youtube, musik di Spotify dan informasi dari berbagai media sosial seperti Facebook, Instagram dan Tiktok. Etnis Dayak harus melengkapi diri dengan ketahanan budaya agar budaya lokal seperti alat musik sape tidak lantas dilupakan hanya karena gitar akustik maupun elektrik mudah di dapat di mana-mana. Tarian Dayak yang Anggun tidak tergantikan oleh dangdut koplo yang masuk ke pedalaman melalui ponsel di tangan.

Keempat, persaingan ekonomi di mana masyarakat Dayak menghadapi persaingan ekonomi yang semain terbuka dan kompetitif. Perdagangan yang tanpa batas negara dengan penetrasi produk China yang jauh lebih murah dengan kualitas semakin baik mau tidak mau harus diantisipasi oleh warga Dayak yang masih mengandalkan produk-produk tradisional. Tetapi dengan produksi yang memassa dan meruyak di pasaran itulah warga Dayak justru harus menunjukkan “perbedaan kualitas” produk sendiri seperti tercermin dari kerajinan tangan, kain batik, alat-alat rumah tangga dan aksesori bernilai seni tinggi yang khas Kalimantan dan tidak ada di daeraah lainnya. Karenanya produk Dayak harus menjadi “eksklusif” di pasar dunia.

Kelima, terjadinya mobilisasi dan migrasi, terjadi keterbukaan akses mendorong timbulnya mobilisasi dan migrasi bagi masyarakat Dayak. Karenanya perlu menjaga keseimbangan agar terhindar dari dampak negatif. Keterbukaan wilayah di Kalimantan yang tadinya terisolasi dalam jangka waktu tertentu mendorong mobilisasi warga dari satu wilayah ke wilayah yang mulai terbuka oleh akses jalan. Sebagai contoh terbukanya jalan dari Kabuapetn Malinau ke Binuang di Krayan Selatan, Kabupaten Nunukan, akan mengubah wajah Krayan Selatan itu sendiri dengan masuknya orang maupun barang yang semula sulit dilakukan. Jika warga Binuang di Krayan Selatan tidak memiliki semacam ketahanan identitas, boleh jadi akan terpengaruh oleh hadirnya orang-orang baru sebagai ekses dari migrasi tersebut.

Contoh lain adalah Ibu Kota Negara (IKN) yang bergeser dari Jakarta di Pulau Jawa ke wilayah Kalimantan Timur, juga akan berimbas kepada penduduk Kalimantan pada umumnya. Peradaban, kebiasaan, gaya hidup, kompetisi yang dibawa oleh orang luar Kalimantan ke IKN akan semakin membuat “gap” (kesenjangan) jika warga Kalimantan tidak mengantisipasinya. Warga Dayak tidak selayaknya hanya menjadi penonton, tetapi turut melebur dan berbaur dengan pendatang luar dengan “ketahanan Pendidikan” yang mempuni, yang tidak kalah oleh orang luar Kalimantan. Warga Kalimantan harus menjadi subjek atau pelaku, bukan sekadar objek pasif.

Keenam, pergeseran pola hidup, pola hidup masyarakat Dayak menghadapi perubahan dan pengaruh globalisasi perlu dilakukan peningkatan kemampuan beradaptasi dengan melakukan perubahan, tetapi tidak meninggalkan nilai budaya. Pola hidup beririsan dengan gaya hidup (lifestyle). Pola hidup yang mengandalkan hasil hutan dengan kearifan berburu maupun bertanam bisa jadi berubah dengan masuknya peralatan mutakhir. Warga Dayak tidak seharusnya menolak teknologi yang masuk dan mengubah pola hidup, tetapi tidak asal menyerap begitu saja, perlu adanya adaptasi yang memungkinkan perpaduan teknologi mutakhir dengan teknologi tradisional yang telah menjadi kehidupan sehari-hari warga Dayak, sebagaimana filosofi Mahatma Gandhi dengan teknologi tradisionalnya yang cocok bagi warga masyarakat desa.

Ketujuh, ketegangan geopolitik yang meningkat, terjadinya konflik dan perebuatan kekuasaan di antara negara besar, dampak perang Ukraina-Rusia dan persaingan dagang AS-China. Konflik global mau tidak mau mempengaruhi persepsi warga Dayak yang tidak jarang berpotensi memecah-belah. Sebagai contoh tentang konflik Ukraina-Rusia, ada warga yang pro Ukraina, tetapi ada juga yang pro Rusia. Warga Dayak hendaknya merujuk kepada kebijakan politik luar negeri Indonesia yang masih menerapkan “politik bebas aktif”.

Perang dagang antara AS dan China yang semakin meruncing telah mengubah arah kebijakan ekonomi politik Indonesia yang tidak lagi berorientasi ke Barat (Amerika dan Eropa), tetapi sedikit-banyak berpaling ke China dengan OBOR-nya (One Belt One Road). Itu sebabnya proyek “gigantic” seperti Whoosh, beralihnya kepemilikan Tokopedia oleh perusahan IT China Bytedance, masuknya Perusahaan China di tambang-tambang Kalimantan, meruyaknya mobil Listrik mobil China di jalan-jalan raya negeri ini menunjukkan “China Oriented” dimaksud. Tidak tertutup kemungkinan mata uang asing yang diburu warga negara Indonesia tidak lagi Dollar AS atau Euro, tetapi Yuan China atau Renmingbi.

(Bersambung)