Literasi

Asmara Putih - Biru | My Cerpen (3)

Jumat, 4 Juni 2021, 15:08 WIB
Dibaca 1.062
Asmara Putih - Biru | My Cerpen (3)
My Cerpen

Pagi itu cukup cerah. Aku menyusur jalan raya bersama siswa yang lain. Maklum, suasana di desa cukup berbeda. Kami harus berjalan kaki menuju sekolah. Ini adalah hari pertama bagi adik kelasku untuk duduk di bangku SMP. Lucu. Aku melihat beberapa siswa baru mengenakan tas dari karung dan memakai topi kerucut dari kertas karton. Topi kerucut perempuan berwarna pink, sedangkan topi kerucut laki-laki berwarna biru. Sesekali siswa baru yang beranjak dari masa kanak-kanak itu berlarian mendahului kami. Bunyi riuh kelereng yang dimasukkan dalam kaleng coca cola ikut mengiring jejak langkah mereka. Sesekali kami menggoda pipi imut beberapa siswa baru.

“Duh, lucunya pipi kamu. Macam kue bakpau,” gelak tawa mengiring body shaming yang kami daraskan.

Sama seperti kakak kelas yang lain. Aku senang mendapat kesempatan menjadi panitia MOS. Waktu untuk balas dendam tiba. Aku ingat masa-masa MOS angkatan kami di tahun sebelumnya. Aku dengan sengaja mengenakan kaus kaki warna pink. Karena aku memang menyukai warna pink. Sontak, tanpa ampun, selama tiga puluh menit aku diminta kakak panitia menyapu halaman tanpa sampah. Aku tak ubah menyapu angin yang berdesir. Dengan sengaja, aku mengibas tanah agar debu-debu ikut beterbangan. Sialnya, lambaian angin segar dari dedaunan menyibak rok biru-ku hingga naik ke atas. Hari ini, aku harus mencari mangsa untuk melampiaskan rasa maluku karena setahun yang lalu diolok-olok oleh kakak kelas.

Seluruh siswa baru berbaris rapi. Masih lugu dan mau diatur. Anak-anak perempuan berkepang dua belas. Sementara anak laki-laki berambut hampir botak. Beberapa panitia memberi pengarahan. Aku termasuk pada panitia yang nimbrung saja. Sama sekali tak punya kapasitas lebih di sana. Hanya sebagai Majelis Perwakilan Kelas. Lagi pula, kakak kelas sembilan sangat piawai berorganisasi. Seluruh panitia hanya mendapat pengarahan dari pembina OSIS. Selebihnya mereka bergerak dengan inisiatif sendiri. Salut. Aku banyak belajar berorganisasi dari cara mereka.

Setelah kegiatan periksa perlengkapan selesai, beberapa siswa yang melanggar langsung terkena hukuman. Aku tertawa cekikian, melihat saudara sepupuku ikut dihukum. Luwi adalah saudara sepupuku, keponakan dari bapak. Semasa sekolah, ia tinggal bersama kami. Sebelum berangkat ke sekolah, bahkan sejak mandi di jamban, tadi pagi, kami sempat berdebat.

Panitia sudah memberi aturan untuk mengenakan kaus kaki hitam dan putih. Celakanya, waktu belanja perlengkapan, Luwi lupa membeli kaus kaki warna hitam. Dia ngotot minjam kaus kaki milikku. Kami tertawa terbahak-bahak saat melihat kaus hitamku kendor dan bolong. Ibu belum sempat membelikan aku perlengkapan sekolah yang baru.

Lagi pula kaus kaki milikku hanya sampai di mata kaki. Sementara, siswa baru wajib mengenakan kaus kaki hingga di bawah lutut. Kalau Luwi ngotot mengenakan kaus kaki milikku, pastinya tidak seimbang. Masa, Luwi harus nambah penampilan lugunya, dengan kaki sebelah kanan mengenakan kaus kaki warna hitam, di atas mata kaki. Sementara kaki kiri mengenakan kaus kaki warna putih di bawah lutut. Jadi tambah lucu, bukan?

Akhirnya, Luwi berangkat dengan mengenakan kaus kaki warna putih yang masih menampakkan kecerahannya. Ia sempat mencium kaus kaki barunya sebelum dimasukkan ke dalam sepatu. Belakangan, kami jadi sering kelahi, karena kaus kaki Luwi kerap menebar aroma tak sedap.

“Emang enak dihukum!” aku meledek Luwi yang nyengir di hadapanku.

“Sialan, gara-gara kamu, aku jadi kena hukuman.”

Luwi hampir saja mendaratkan ganggang sapu yang dipegangnya ke tubuhku. Karena diteriaki oleh panitia, Luwi gagal memukulku. Ia mempercepat langkah, menyusul beberapa siswa yang senasib dengannya. Aku jadi punya ide untuk lanjut ngospek Luwi di rumah, nanti.

“Kia! Kamu udah lihat wajah siswa baru?” Gege membuyar lamunanku.

“Nggak penting, Ge. Masih culun.”

“Benaran? Ada yang nggak culun loh.”

“Ah, biasa aja.”

“Kamu masih mikirin Denes, yang auto berbulan-bulan baru balas surat cinta dari kamu itu?”

“Apaan sih? Nggak, ah.”

Aku berlalu dari samping Gege. Risih, kalau disemprot soal surat cinta. Gege asal ngomong. Dia nggak tahu perjuanganku merangkai kata-kata yang indah lalu menulis dengan seapik mungkin. Aku rela menyisihkan uang jajan hanya untuk membeli kertas surat cinta. Demi sebuah surat cinta, aku diam-diam mencuri start dari jam belajar. Takut kalau mata tajam bapak menyorot tingkah konyolku. Aku trauma, ibu pernah membaca surat cintaku untuk Denes. Ibu mengolokku, karena kata-kataku bak pujangga. Ibu bilang, aku punya bakat menulis. Meski ibu tidak marah, tapi aku sangat malu. Sebab aku sudah bilang, ‘I love you forever’ pada Denes.

Meski pencinta pink, gaya tomboiku tak berubah sejak kecil. Aku gemar bergelantung di tiang pintu kelas. Namun, aku harus berhati-hati. Sebab, beberapa teman laki-laki di kelasku sering menyemat sepotong cermin pada sepatu mereka. Diam-diam mereka menyorot di bawah rok anak-anak perempuan. Tapi lucu, keesokan harinya, ada anak laki-laki yang mengalami bintil di pelupuk mata. Kami menghujatnya. Banyak yang bilang, itu hukuman karena suka ngintip rok anak perempuan. Sejak saat itu, anak laki-laki tak pernah ngintip lagi.

Meski berkali-kali menerima hukuman, aku tak pernah jera. Bahkan ketika Pak Yosef sebagai guru KTK (yang sekarang berubah menjadi mata pelajaran SBD) menyampaikan materi di depan kelas, aku lebih memilih untuk diam-diam membaca novel karya Fredy S. Bukan hanya fokus membaca isi novel yang membuat pikiranku jadi halu, aku pun bercita-cita menerbitkan novel di kemudian hari. Andara, yang duduk sebangku denganku mafhum, aku sering menyelipkan bahan bacaan dalam buku catatan.

Masa MOS sudah seminggu berlalu. Selentingan yang hampir setiap hari kudengar semakin mengusik rasa penasaranku. Kata mereka, diantara siswa baru yang lugu-lugu itu, ada seseorang yang ganteng. Aku mengucek mata, berharap siswa yang dimaksud benaran ganteng.

Dio Asmara. Alis matanya tebal, sorot matanya lebih tajam dari pandangan bapak. Kulitnya hitam manis. Tubuhnya tinggi besar. Ia melakukan smash dengan padu di lapangan volly. Aku tercengang.

“Guaaanteeeng banget, Ka!”

“Eh…. eh.… eh…. Bangun! Bangun! Kamu harus ingat love you forever-mu itu.” Eka mengguncang tubuhku.

“Nggak. Kami udah putus,” aku membuat pernyataan.

“Sejak kapan?”

“Sejak Denes mengembalikan buku diari-ku dengan kosong tanpa membalas sepatah kata pun pada untaian kalimat cintaku di sana.”

“Gila! Jangan bilang kamu mulai naksir anak yang jago volly itu.”

“Kalau iya, kenapa?”

“Siap-siap aja jadi saingan ciwik-ciwik yang lain.”

“Iiih… biarin. Aku kan cuma suka. Lagian cinta itu kan nggak harus memiliki.”

“Ya, kalau suka, di kejar dong! Masa mau kalah.”

“Ya ampun, Ka. Aku cuma suka kali. Nggak usah repot untuk support aku lah.”

Apa yang dibilang oleh Eka benar terjadi. Untuk pertama kalinya aku merasa cemburu saat melihat Dio jalan beriringan dengan Isa. Aku bergegas mendahului. Tak peduli apakah Dio melihat lekuk tubuhku atau tidak. Aku sembunyi dibalik payung bermotif mawar merah.

Aku pulang ke rumah dengan memuntahkan rasa kecewa pada Luwi. Baru saja aku masuk ke dalam rumah, aku melihat Luwi sudah duduk manis di meja makan. Ia mendahuluiku tanpa permisi.

“Kamu kok ninggalin aku sih, Wi?”

“Lah, bukannya tadi pas bel tanda pulang, kamu masih bersihkan toilet?”

“Oh, iya. Aku lupa. Tadi kami dihukum oleh Pak Arman karena nggak hapal butir-butir pancasila.”

Uhuk.... uhuk....  Luwi akhirnya tersedak karena menertawaiku.

“Wi. Aku kesal.”

“Kenapa?”

“Masa, Dio jalan beriringan dengan Isa.”

“Masalahnya buat kamu apa?”

“Nggak ada sih, aku hanya cemburu.”

Cemburu. Sebuah perasaan yang tak bisa digambarkan hanya dengan kata-kata. Dio terlalu dramatis menanyangkan kemesraannya dengan perempuan lain di hadapanku. Nyaliku jadi ciut. Ketika aku menggambarkan pribadi Isa dalam khayalanku. Wajar. Isa cantik, menarik, anak orang kaya, meski tidak sepintar aku. Kenapa Dio bisa jatuh hati pada Isa? Aku jadi menerka-nerka. Mencari sebab, yang pada akhirnya menurut analisaku sendiri. Tanpa kebenaran. Aku yakin, Isa terlalu agresif mencuri hati cowok idamanku.

Hampir setiap hari aku disuguhkan oleh panorama kedekatan Dio dan Isa. Sorot mataku selalu tertuju pada gerakan dan langkah mereka. Diam-diam aku jadi membenci Isa. Luwi selalu menepuk pundakku, manakala aku mencurahkan isi hati padanya.

Minggu depan akan ada kegiatan kunjungan antar sekolah. Aku semangat mengikuti kegiatan itu. Karena, aku akan puas menyaksikan pertandingan volly yang diikuti oleh Dio. Meski Dio tak pernah menyibak isi hatiku, aku tetap mendukungnya dalam diam.

“Kamu masih naksir sama Dio, Ki?”

Aku menggeleng. Tiba-tiba saja butiran hangat membasahi rona wajahku. Tak ada niat untuk menangis. Tapi, aku sangat menginginkan kedekatan dengan Dio. Meski tak ada kata cinta, aku hanya ingin duduk di sampingnya. Merasakan kehangatan dari genggaman tangannya, dengan sebuah ciuman di kening seperti yang pernah kubaca dalam novel Fredy S. Meski untuk beberapa detik saja. Tidak lebih, dari sebuah kisah asmara putih – biru. Meski kekanak-kanakan, tapi sangat berkesan. Setelah itu, terserah. Aku tak peduli pada balasan cinta Dio.

“Ki. Ikut aku!” Dio menarik tanganku.

Hatiku bergetar. Aku menjadi serba salah. Takut kalau Dio benar marah kepadaku. Aku dengar-dengar, Dio sudah mengetahui perasaanku.

“Aku tahu, kamu suka sama aku, kan?”

“Nggak!” aku berusaha menepis.

“Kamu tahu kan kalau aku lagi pacaran sama Isa?”

“Iya, aku tahu. Emang kenapa?”

“Kamu cemburu?” Dio menggenggam tanganku.

Aku menggeleng. Darahku berdesir di sekujur tubuh. Aku semakin takut menerima sorotan mata Dio. Aku tak mengira, Dio mendaratkan sebuah kecupan manis di keningku. Hanya dalam waktu tiga detik. Tanpa mengucapkan apa-apa, ia berlalu.

Aku tercengang. Ungkapan hatiku sudah berakhir. Sesuai janji pada hati kecilku, aku harus melupakan Dio. Perasaanku untuk mencintainya berakhir dengan manis. Tak ada cinta yang lebih indah, selain dari sebuah perasaan yang akhirnya berlalu begitu saja. Aku tertunduk malu. Tak seharusnya aku mencintai laki-laki tampan itu. Aku beruntung, karena Dio telah menyematkan sepotong hati untuk mengiring perasaanku yang harus pergi darinya. *)

Enam belas tahun kemudian….

Aku kini tumbuh menjadi wanita karier yang super sibuk. Bekerja tanpa mengenal waktu. Bahkan untuk urusan cinta pun aku harus menimbang-nimbang. Aku tak ingin membuang waktu hanya untuk memikirkan persoalan cinta yang ruwet. Terkadang aku rindu pada masa putih – merah, putih – biru dan putih – abu-abu. Masa dimana aku bisa membentuk cerita indah. Mengukir setiap rasa menjadi tawa. Kini, semuanya telah menjadi kenangan. Aku hanya mampu mengulik berbagai kisah yang menakjubkan. Tak terlepas, kisah cintaku bersama Dio.

Hari ini, asmara putih – biru kembali muncul ke permuakaan. Gawai-ku bersenandung dengan sebuah pesan di platform mesengger. Seorang Pria yang masih kukenal betul ketampanannya. Alis mata yang tebal, sorot mata lebih tajam dari pandangan bapak. Kulitnya hitam manis. Tubuhnya tinggi besar. Teringat, ia melakukan smash dengan padu di lapangan volly. Aku tercengang. Dio Asmara.

Kia, Selamat malam.

Hallo, Dio.

Kamu masih ingat aku, Kia?

Aku selalu ingat, Dio. Kamu pernah menjadi asmara putih – biru-ku. Bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu.

Aku tersenyum menatap layar gawai. Dio menyorot kisah kelam yang sudah berlalu. Ia hanya ingin tahu, mengapa aku pernah menyukainya. Meski pun sudah basi, aku terpaksa mengutarakan isi hatiku.

Aku sudah mencari kamu sejak bertahun-tahun, Ki. Aku baru ketemu laman facebook kamu sekarang. Aku pernah merasa bersalah, telah meninggalkan sekeping hati untukmu.

Aku terdiam, meski tak pernah menyimpan kecewa. Seandainya, Dio tak menghubungiku, aku tetap berlalu dengan komitmen. Dio telah menggenggam tanganku, dan mengecup keningku. Karena itu, aku harus pergi tanpa permintaan apa pun dari Dio. Itu janji pada hati kecilku, dulu. Tapi kini, pria itu hadir setelah belasan tahun lamanya.

Kamu tahu, kenapa aku mendaratkan ciuman di keningmu?

Aku bimbang untuk memberikan sebuah jawaban. Teringat olehku, Dio tak meninggalkan sepatah kata pun untukku hari itu.

Karena aku mencintaimu, Kia.

Aku terhenyak. Napasku seakan berakhir begitu saja. Kata-kata yang kutunggu selama ini baru terungkap kini.

Kamu nggak salah? Aku…. Aku bukan siapa-siapa. Semuanya sudah terlambat.

Bagiku tidak ada kata terlambat, Ki. Seandainya saja, aku menemukanmu lebih awal. Aku ingin sehidup semati denganmu.

Kamu bohong!

Aku nggak pernah bohong, Ki. Kamu tahukan, kalau setahun kemudian aku pindah sekolah? Dulu, akses komunikasi susah. Aku berusaha mencari kamu di media sosial. Lagi pula, aku kesulitan menemukanmu karena media sosial kamu bukan menggunakan nama asli. Aku beruntung, hari ini mendapatkannya. 

Aku mengunci layar gawai dengan tenang. Tak ingin memanaskan cerita untuk kisah yang sudah basi. Aku tahu perasaan Dio. Ia juga mencintaiku sejak dulu. Diam-diam, aku kembali menantap foto yang dikirimnya padaku. Masih seganteng dulu. Dengan alis mata yang tebal, sorotan mata tajam dan kulit yang hitam manis. Dio Asmara, terima kasih sudah menyentuh hatiku hari ini.