Filosofi

Filsafat Bruce Lee: Be Water!

Senin, 29 November 2021, 17:46 WIB
Dibaca 1.577
Filsafat Bruce Lee: Be Water!
Foto: BC

Bruce Lee kemarin ultah. Lahir 27 November 1940. Harusnya 81 tahun andai kata masih hidup. Ayahnya Lee Hoi Chuen, asli Cina. Ibunya, Grace Ho keturunan Eurasia, Cina-Yahudi dari bapak Ho Kom Tong.

Banyak diantara kita yang mengenal Lee sebatas jago dalam bela diri melalui film ikonik The Enter Dragon dan The Fists of Fury. Tetapi pasti tidak byk kita yang tahu bahwa Lee juga paham filsafat. Kuliah di Washington University.

Harusnya, saya menulis kemarin. Tapi saya gagal fokus akibat dinamika pekerjaan rutin yang agak tinggi. Lee meninggal pada tanggal 20 Juli 1973 karena edema otak (kelebihan cairan dalam otak). Sangat muda, baru 32 tahun.

Tubuh sangat sempurna, tidak merokok, tdk minum alkohol. Lee seumur hidup mengabdikan hidup untuk kekuatan dan kesehatan.

Laporan awal Associated Press dalam The New York Times pada 20 Juli 1973, mengatakan bahwa Lee meninggal di Rumah Sakit Queen Elizabeth, setelah ditemukan tak sadarkan diri di rumahnya, Hong Kong.

Catatan kepolisian juga mengatakan tidak ada hal-hal yang mencurigakan. Banyak ahli patologi dari seluruh dunia diterbangkan ke Hong Kong utk memyelidiki kematiannya. Tidak ada kesimpulan lain: tubuh Lee hipesensitif terhadap obat penahan rasa sakit. Dia minum obat Equagesic sebelum koma.

Lee belajar bela diri sejak usia 13 tahun di Hongkong. Guru pertamanya Ip Man atau Yip Man. Pindah ke AS pada usia 18 tahun. Menikah Linda Cadwell pada tahun 1964 dan dikaruniai 2 orang anak: Brandon Lee dan Shanon Lee.

Kembali soal filsafat. Begitu pindah ke Amerika Serikat sejak tahun 1964, ia mendirikan sekolah bela diri pertama di Seatle yang diberi nama Lee Jun Fan Gung Fu Institute atau Institut Kung Fu Lee Jun Fan. Sekolah kedua dan ketiga di Oaklama dan Los Angeles. Lee Jun Fan adalah nama asli Bruce Lee. Di sana diajarkan Wing Chun dan beberapa bela diri yang dimodifikasi menjadi Tao of Jeet Kune Do.

Dalam sekolahnya, dia menerapkan prinsip filsafat yang dipelajarinya di universitas dalam ilmu bela diri di sekolahnya. Be Water: lembut seperti tetesan air dan menghancurkan seperti gelombang tsunami, demikian tulis Bruce Lee dalam salah satu bukunya.

Menarik! Filsafat ternyata berlaku dalam prinsip ilmu bela diri yang selama ini kita kenal keras. Kenal dari layar kaca. Dari luar saja. Sebagian kita tidak kenal rohnya. lmu bela diri samurai dari negeri Sakura, contohnya, sangat menghormati prinsip2 kemanusiaan. Orang menyerah tidak boleh diserang. Berhianat harus bunuh diri, dst.

Berdasarkan teori, prinsip utama filosopi air adalah kerendahan hati, harmoni dan keterbukaan! Air akan selalu mengalir dari atas ke bawah. Air akan selalu menemukan tempatnya berlabuh. Air akan selalu mampu beradaptasi (harmoni) dengan tempatnya. Lentur saat mengalir (rendah hati).

Dalam praktiknya, air akan selalu menemukan solusi untuk masalah tanpa paksaan atau konflik. Mengajarkan kita untuk bekerja selaras dengan lingkungan tempat kita berada alih-alih melawannya. Lingkungan kita terus berubah, kelenturan pikiran dan tindakan harus selaras atau mampu beradaptasi agar tercipta harmoni.

Filosopi air ini, dapat diterapkan dalam banyak dimensi kehidupan manusia, seperti sosial, ekonomi, politik dan budaya, pendidikan, dll.

Dalam bidang sosial dan ekonomi. Dua minggu lalu, 22/11, Pak Wagub, YTP, bicara soal filosopi air dalam acara pelatihan aparat desa, "Bagaimana tindakan dan perbuatan kita mengalir ibarat air dari gunung dan menyentuh masyarakat. Sebagai aparat pemerintah desa, jadikan diri bermanfaat bagi masyarakat melalui perbuatan dan kebijakan." Pungkasnya.

Demikian juga bidang politik. Ibarat gunung es, pada saatnya, musim panas, gubung es akan meleleh. Demikian juga kebijakan dan perbuatan baik seorang politisi atau pejabat publik.

Berbuatlah kebaikan, berbuatlah kebaikan terus menerus dan pada saatnya perbuatan baik akan membuahkan hasil positif bagi orang lain dan atau lingkungan sekitar. Entah awalnya masyarakat paham atau tidak. Tapi pada saat musim menuai datang, masyarakat akan merasakan tetesannya.

Jadi dalam kehidupan kita sehari-hari, teruslah berbuat baik, apapun posisi dan jabatan kita, besar atau kecil. Makna hakiki kehidupan adalah hidup bermakna bagi orang lain.

Tidak usah terjebak kerangka kerja dan berpikir orang lain yang pada akhirnya mengkerdilkan otak dan cara kerja kita. Juga mendatangkan kegelisahan dan atau kegalauan melihat orang lain semakin jauh. Misalnya, orang lain bisa ini, bisa itu. Orang lain punya ini dan punya itu.

Melihat perbuatan baik orang lain, apalagi orang lain yang menurut kita lebih hebat atau berada di atas, sah-sah saja. Tapi berusaha menjadi diri sendiri orang lain adalah awal kegagalan. Semakin jauh kita berjuang menjadi orang lain, semakin jauh kita ketinggalan.

Nah, semua orang akan saling mengintip kesuksesan lingkungannya. Saling belajar kegagalan. Orang sukses belajar dari orang yang gagal. Orang gagal belajar dari orang yang sukses. Berbuatlah sesuai kapasitas sendiri. Demikianlah dialektika sosial kehidupan manusia!

Demikianlah upaya memahat kata merangkai kalimat mendapat makna sesuatu dari suatu peristiwa dari Sudut Mata GK🌱🤝🙏

 ***

#SM-GK/28/21🌱