Filosofi

Manusia Cangkokan

Sabtu, 6 Maret 2021, 17:58 WIB
Dibaca 773
Manusia Cangkokan
Anak dan orangtua (Foto: IDN Times)

Budidaya tanaman bisa dilakukan dengan beragam cara. Ada benih atau biji, stek, cangkok, persilangan dan lain-lain. Orang yang teliti dan berpikiran maju akan memilih metode benih. Ini disebabkan kekuatan tanaman. Tumbuh perlahan seirama.

Saat akar mulai menancap ke bumi saat itu pula batang berkembang ke atas. Pelan, pelan, pelan.... Hasilnya menakjubkan. Pohon itu akan kuat menahan terpaan angin. Mampu menyimpan air tanah dengan sempurna. Dan tentunya tahan hama. Pilihan manusia yang bijak....

Sayangnya ada orang yang ingin cepat panen. Dia memilih metode cangkok atau stek. Tinggal ambil pohon yang buahnya bagus. Dikuliti, dibungkus plastik yang diisi tanah, dan tunggu 3-4 bulan kemudian. Akar akar mulai kelihatan dari cangkokan itu. Menjadi tanda bila batang itu sudah bisa dipotong. Ditanam di tempat lain.

Maka, cepatlah batang cangkokan itu berbuah. Yang menjadi titik lemah dari metode ini adalah kekuatan. Karena pohon hasil cangkokan berasal dari batang yang sudah jadi, sangat mudah ambruk, tidak tahan lama, dan mudah terkena penyakit. Apesnya, justru pohon itu ambruk mengenai rumah sang pemilik.

Cerita di atas adalah analog dari karakter sebagian orang tua. Takut anaknya miskin, tidak bahagia, kekurangan, dan hidupnya menderita, akhirnya orang tua potong kompas. Si anak langsung diwarisi jabatan, kekayaan, hingga singgasana.

Orang tua model ini tidak belajar dari perjalanan hidupnya sendiri. Orang tua bisa sukses karena kuat berjuang bermandikan keringat, betah tirakat, dan rajin belajar. Setelah berjuang puluhan tahun, akhirnya sukses bisa dinikmatinya. Nah, mestinya orang tua justru menjadikan pengalamannya itu sebagai model pendidikan untuk anaknya.

Anak jangan dimanja, tetapi berikan kesempatan yang luas untuk menggali potensinya. Selagi potensi itu positif, berikan saja fasilitas. Itu saja...

Kasihan sekali nasib anaknya kelak. Masalah kehidupan kelak makin kompleks. Orang tua sudah renta. Tak mungkin bisa mengawal hidup anaknya sepanjang masa. Ketika anaknya bermasalah, anaknya bisa stress dan frustasi akibat tidak dilatih mentalnya sejak dahulu. Inilah bahayanya....

Maka, jangan ukur baju orang lain dengan ukuran baju kita. Jangan bebani anak kita harus sukses seperti orang tuanya. Mandirikan saja hidupnya. Jauhkan dari bayang-bayang kesuksesan orang tuanya. Agar tidak menjadi beban bagi anak kita. Percayalah, Tuhan Maha Adil dan Maha Kaya. Rezeki tidak akan tertukar.

Setiap anak sudah memiliki jatahnya masing-masing. Selagi kreatif, mandiri, dan selalu ingat Tuhannya, ngga bakalan rezeki itu lari....

***