Nilai-Nilai Kepemimpinan Dalam Masyarakat Hukum Adat Lundayeh Dulu dan Kini
Tahun 80-an ke bawah, mekanisme pemilihan Kepala Adat atau Ketua Kampung dilakukan melalui penunjukan. Melalui musyawarah untuk mencapai mufakat atau konsensus. Tidak ada pemilihan seperti yang umum kita kenal sekarang. Yang ada adalah “gayam mural” (musyawarah) untuk mencapat kata sepakat. Ketika keputusan sudah diambil, tidak ada lagi protes, tidak ada lagi suara nyinyir/sumbing. Semua bulat. Satu nada sesuai arahan tetua atau orang yang dituakan. Itulah demokrasi konsensus dalam tradisi kepemimpunan Masyarakat Hukum Adat Lundayeh (selanjutnya MHA).
Pola kepemimpinan demikian berlangsung sebelum dan paska kemerdekaan sampaikan dengan 80-an ke bawah. Masyarakat hidup berdampingan secara harmonis/rukun. Minim konflik. Hampir tidak ada masalah tanpa penyelesaian dalam semangat kekeluargaan. Bahkan sebagian besar masalah diselesaikan melalaui percakapan ringan dengan duduk mengelilingi tungku api. Semudah itu mereka mencari solusi penyelesaian masalah dalam masyarakat. Bukan soal penyelesaian konflik saja. Dalam hal perencanaan pembangunan juga demikian. Sangat mudah dan singkat. Hampir tidak ada perdebatan berarti. Demikian kesaksian yang kami generasi sekarang dengar dari mulut ke mulut para orang tua yang hidup pada jaman tersebut.
Dari kesaksian para orang tua di atas, menjadi pertanyaan bagi kita, apakah tidak ada perbedaan pendapat antara mereka? Saya yakin ada. Tidak mungkin tidak ada. Cara dan kemampuan berpikir setiap manusia tidak sama. Saudara kandung saja bisa berbeda, apalagi masyarakat 1 kampung. Lantas apa yang berbeda dulu dan kini? Selain soal hirarki dan struktur kepemimpinan dalam masyarakat, yang berbeda adalah semangat dan niat mereka. Semangat dan suasana kebatinan yang melatarbelakangi interaksi sosial keseharian mereka.
Oleh karena itu, menjadi menarik bagi kita untuk cari tahu lebih jauh budaya (nilai) dalam kepemimpuan dalam MHA Lundayeh. Ada nilai dan budaya yang hidup dan berkembang yang membentuk karakter kepemimpinan MHA Lundayeh sebelum dan paska kemerdekaan, antara lain:
Pertama, budaya rumah panjang. Dalam konteks MHA Lundayeh jaman dulu, rumah panjang adalah gudang atau konstruksi nilai, gudang norma sosial. Semua ada dan tumbuh dari rumah panjang. Interaksi sosial yang intens setiap pagi, siang dan malam, membentuk kebiasaan dan budaya satu keluarga besar. Satu rumah, satu periuk nasi, satu lumbung padi, dst. Pagi mereka jumpa makan pagi bersama. Siang mereka jumpa kerja gotong royong (ruyud) buat sawah, ladang, dll. Malam mereka jumpa makan malam bersama. Jumpa anyam tikar, jumpa buat/jahit atap daun, dll. Praktis hari-hari mereka lalui dalan kebersamaan. Hari dan waktu adalah milik bersama. Dan momen-momen kebersamaan dimaksud, dijadikan ajang untuk menyampaikan pendapat, rencana/program, dst. Selesai.
Kedua, budaya rumah panjang di atas, juga membentuk “keluarga besar”. Semua merasa sebagai keluarga. Ada komitmen bahwa baik hari ini dan hari-hari ke depan sebagai milik bersama. Senang bersama, susah bersama. Susah dia, susah saya dan susah kita semua. Sampai kapan pun, kita adalah keluarga. Itulah semangat, jiwa yang tumbuh, yang kemudian melahirkan sikap atau prilaku tulus, iklas dan sikap saling menerima. Dalam jiwa dan pikiran mereka terpahat semangat kekerabatan atau kekeluargaan yang tinggi. Mereka menempatkan kepentingan “satu keluarga” di atas segalanya. Prinsip yang melahirkan sikap tenggang rasa tinggi.
Ketiga, dalam hal pengambilan keputusan, ada 2 frasa yang sangat populer di kalangan MHA Lundayeh, antara lain: (1) “Ikutlah jejak kaki orang banyak”. Analoginya demikian. Apabila Anda tertinggal sendiri jauh di belakang sendiri saat dikejar musuh, agar tidak sesat, selalu ikuti jejak kaki orang banyak. Ketika ada simpangan jalan, carilah jalan yang dimana ada banyak jejak kaki orang lewat. Itulah jalan yang benar. (2) “Kalau orang lain duduk, duduklah. Kalau orang lain berdiri, ikutlah berdiri agar kita tidak kelihatan”. Frasa pertama bermakna bahwa dalam hal pengambilan keputusan, pilihan atau pendapat orang banyak adalah keputusan yang benar. Bisa jadi juga tidak tepat atau benar (relatif), tapi itulah kebenaran menurut orang banyak. Frasa kedua mengandung makna, jangan pernah ketinggalan dari langkah atau kegiatan orang banyak. Selalu ikut langkah atau gerak orang banyak agar kejelekan Anda tidak diketahui oleh orang lain. Alpa dalam suatu kegiatan “ruyud” adalah aib.
Dalam konteks pemimpin, kedua frasa ini bermakna, ikutilah kata-kata atau arahan pemimpin. Jangan menentang atau melawan.
Keempat, kata-kata pemimpin adalah titah, amanat. Karena pemimpin dalam masyarakat merupakan produk atau hasil musyawarah bersama, hasil konsensus (mufakat), hampir tidak ada perlawanan dan pembangkangan atas keputusan pemimpin. Bahkan yang ada, kata-kata pemimpin adalah printah atau mandat yang wajib ditaati, dipatuhi dan dilaksanakan.
Mereka tidak punya pengetahuan demokrasi teksbook, tetapi nilai atau praktek kepemimpin mereka sangat demokratis.
Kelima, “basah telapak kaki, basah mulut”.* Frasa ini mempunyai makna dorongan untuk berusaha keras. Tidak ada hasil gratis. Semua harus melalui perjuangan atau usaha keras. Telapak kaki basah maksudnya, harus keluar rumah. Karena kala itu nenek moyang suku bangsa Lundayeh tidak punya sepatu. Kalau keluar dari rumah, pasti telapak kaki basah karena injak tanah. Filosopi inilah yang banyak membentuk mental dan karakter para pendahulu generasi Lundayeh hari ini.
Walaupun berada di pelosok pedalaman tepencil, di tengah hutan, jauh dari kota tanpa akses jalan, tanpa sekolah, tanpa puskesmas, dst, nenek moyang MHA Lundayeh tetap gigih berjuang keluar dari pelosok-pelosok menuju kota untuk bisa sekolah, bekerja, dll.
Di atas adalah gambaran dulu. Sekarang beda. Nilai dan budaya kepemimpinan sebagaimana saya uraikan di atas, sebagian masih ada, sebagian sudah tidak ada. Sebut saja budaya rumah panjang. Sudah tidak ada. Budaya satu keluarga sudah mulai luntur. Gaya hidup kosmopolitan sudah mulai mengganggu. Tidak ada lagi milik bersama. Dalam hal hasil buruan contohnya. Dulu, satu hasil butuan milik bersama. Dibagi rata satu kampung. Juga tidak ada lagi makan pagi atau makan malam bersama.
Kultur kepemimpinan dalam MHA Lundayeh jaman sekarang sudah mengalami banyak perubahan. Demokrasi konsesus bergeser ke demokrasi ala barat, khususnya dalam hal memilih pemimpin. Satu prang satu suara. Gampang-gampang susah, bahkan cenderung rumit. Tidak ada lagi rapat selesai sekitar tungku api pagi atau malam. Harus waktu khusus dan berlangsung berjam-jam. Debat kusir dan pertentangan (perbedaan), bukan sesuatu yang asing lagi. Dengan alasan hak dan demokrasi, setiap orang mempertahankan pendapatnya tanpa memikirkan dan peduli pendapat orang lain. Pokoknya pendapat saya paling baik. Yang lain salah. Walaupun pada akhirnya ada kesepakatan, tetapi perdebatan sengit sudah berlangsung berjam-jam untuk sampai pada kata sepakat. Dalam hal pemilihan pemimpin juga demikian. Pemilihan Kades, misalnya. Bahkan paska Pilkades ada yang musuhan berbulan-bulan setelah pemilihan. Sebuah kondisi umum yang banyak terjadi dewasa ini.
Ada banyak faktor yang menyebabkan runtuhnya nilai dan budaya kepemimpinan dimaksud. Kebijakan re-grouping (pengabungan beberapa kampung dalam satu wilayah atau cluster) tahun 70-an, salah satunya. Kebijakan ini mengakibatkan budaya rumah panjang hilang atau runtuh. Daya rusaknya signifikan.
Banyak nilai dan budaya yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat suku bangsa Dayak Lundayeh yang hilang. Tentu saja banyak faktor lain, seperti perubahan sebagai akibat adanya pembangunan, dll.
Salah satu dampak pembangunan yang membawa perubahan pada tatanan nilai suku bangsa Lundayeh adalah kemajuan IT, khususnya Media Sosial. Medsos telah membentuk atau menjadikan “manusia satu budaya” di planet bumi ini. Semua seolah-olah satu asal-usul. Artis rambut merah di AS, manusia di belahan dunia lain ikut-ikut merah rambut, dst. Ada proses adaptasi nilai yang sangat cepat yg merusak dan menggerus nilai-nilai luhur yg hidup dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Termasuk suku bangsa Dayak Lundayeh di Kaltara.
Kondisi ini mengingatkan kita pada kata-kata Soekarno 50 tahun lalu. “Kalau kamu jadi hindu, jangan jadi orang India. Kalau kamu jadi Islam, janganlah jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang nusantara dengan adat dan budaya nusantara yang kaya raya ini”. Adalah benar kata-kata Soekarno di atas.
Generasi muda Indonesia harus kembali kepada nilai-nilai, adat/budaya Nusantara yang kaya-raya ini. Indonesia kokoh hari ini karena diikat oleh nilai, adat dan budaya kita sendiri, yaitu Pancasila. “Dasar negara kami tidak import. Pancasila kami gali dari nilai-nilai (budaya) yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke,” demikian Soekarno dengan bangga di depan Sidang Umum PBB tahun 1960.
#pemimpinmuda2024
#ytprayeh