Sosok

"Pensiun", Kata yang Semakin Merekatkan Persahabatan (Persamuhan 3)

Minggu, 2 Maret 2025, 17:09 WIB
Dibaca 50
"Pensiun", Kata yang Semakin Merekatkan Persahabatan (Persamuhan 3)
Yansen TP (Foto: Pepih Nugraha)

Pepih Nugraha

Penulis senior

Ini bagian terakhir dari cerita saya tentang persamuhan. Layaknya sebuah persamuhan, ada pendapat yang harus diuji, bukan semata-mata mencari persetujuan. Nah, pada persamuhan itu ada ketidaksetujuan Pak Yansen TP terhadap kata "pensiun" atau "pensiunan" yang melekat pada diri saya dan memang pernah saya nyatakan secara verbatim. Bagi Pak Yansen, tidak ada kata "pensiun" selagi seseorang mampu beraktivitas, berkegiatan dan terus-menerus aktif dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya.

Kata "pensiun" memang dapat diamati secara leksikal, setidaknya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bahwa sebagai kata kerja "pensiun" bermakna tidak bekerja lagi karena masa tugasnya sudah selesai. Jelas tertulis penegasan bahwa pensiunan adalah "seseorang yang sudah tidak bekerja lagi karena masa tugasnya sudah selesai".

Saya sendiri, meski tidak purna tugas, telah menyatakan pensiun dini sebagai wartawan dari Harian Kompas. Saya tidak mungkin kembali atau menjadi wartawan Kompas lagi. Bolehlah saya menyebut diri sebagai pensiunan Kompas karena sudah selesai masa tugas saya di perusahaan itu.

Demikian pula Pak Yansen yang masa tugasnya sudah selesai sebagai birokrat, beliau adalah seorang pensiunan pegawai negeri sipil yang sudah tidak bekerja lagi sebagai pegawai negeri sipil. Sebagai pensiunan pegawai negeri sipil, tentu Pak Yansen juga tidak akan bisa bekerja kembali sebagai pegawai negeri sipil.

Nah, itu dalam pengertian leksikal, seturut kamus. Bahwa kemudian kata "pensiun" dapat dimaknakan dengan berbagai tafsir, tentu saja bisa dan itu sah-sah saja. Tetapi "nature" tafsir adalah belum tentu maknanya diterima semua orang. Karena tidak mengenal pensiun, kata "pensiun oleh Pak Yansen dimaknakan apabila tubuh terbujur kaku tak bertuan lagi, apabila nalar tak berlogika, mata tak berkedip, mulut tak bersuara, lidah tak bertekuk dan tanpa rasa... alias mati".

Anda setuju dengan tafsir itu, silakan. Tetapi yang tidak setuju pun tidak bisa dilarang. Itulah tafsir yang bukan makna leksikal. Tafsir juga ada yang bemakna filosofis, tetapi ada juga pragmatis, yang memandang pensiun sebagai sekadar ilusi sebagaimana yang dikemukakan Pak Yansen, tetapi ada yang memandang pensiun sebagai kasunyatan atau kenyataan seperti penafsiran saya.

Baiklah, untuk memudahkan penjelasan, saya gambarkan dalam sebuah cerita sederhana karena saya seorang penulis cerita pendek juga, yang untuk dunia tulis-menulis saya tidak akan pernah menyatakan pensiun.

Ilustrasi yang ingin saya kemukakan di sini adalah seseorang bernama Pak Surya, seorang pengusaha berusia 70 tahun, yang selalu menolak jika ada yang menyebut dirinya sudah pensiun.

"Tidak ada yang namanya pensiun dalam hidup ini," katanya suatu hari sambil menikmati kopi panas bersama sahabat-sahabat dekatnya. Baginya, hidup adalah perjalanan tanpa garis akhir yang ditentukan oleh institusi atau usia. Selama masih bisa berpikir, berkarya, dan bermanfaat, ia merasa tidak ada alasan untuk berhenti."

Ada beberapa sahabatnya yang mengamini pendapat Pak Surya, tetapi seorang sahabatnya, Pak Budi, yang adalah seorang mantan pegawai negeri yang kini menikmati sedang menikmati masa pensiunnya itu menimpali, "Pensiun itu kenyataan, Pak, bukan ilusi," katanya. "Ada fase di mana kita harus menerima bahwa tenaga kita sudah tidak seprima dulu, bahwa dunia kerja punya regenerasi, dan bahwa kita pun butuh waktu untuk menikmati sisa hidup dengan lebih santai."

Perdebatan mereka semakin menarik, semakin banyak pertentangan, maka semakin bergairah saja malam itu, sampai-sampai pelayan menuangkan kopi panas lagi untuk kesekian kalinya.

Seorang pendiam masih tergolong pemuda yang mengikuti percakapan Pak Surya dengan pak Budi diam-diam mendengarkannya dengan khidmat. Ia jarang bicara. Kesukaannya adalah membaca buku-buku filasafat. Ia hanya berbicara ketika diminta. "Bagaimana menurut Bung, dari tadi Anda hanya diam, bicaralah!"

Sambil menghabiskan kopi tegukan terakhirnya, anak muda yang dipanggil "Bung" itu menjelaskan. "Secara praktis, pensiun memang nyata," katanya. "Dunia kerja punya batas usia produktif yang harus diterima. Baik dalam pekerjaan formal maupun profesi lainnya, ada titik di mana seseorang harus menyerahkan tanggung jawabnya kepada generasi berikutnya. Bahkan atlet pun mengenal masa pensiun karena tubuh mereka tidak bisa selamanya dalam kondisi prima...."

"Oh, begitukah?" sela Pak Surya seperti sulit menerima penjelasannya, sementara Pak Budi terus menyimak.

"Namun, secara filosofis, apakah benar manusia bisa benar-benar 'pensiun' dari kehidupan?" Si Anak Muda mulai mengeluarkan jurus filsafatnya. "Dalam pandangan Pak Surya, kehidupan adalah rangkaian kontribusi yang terus berjalan. Beliau percaya bahwa meskipun seseorang berhenti bekerja secara formal, ia tetap bisa berkarya, berbagi ilmu, dan berkontribusi dengan caranya sendiri."

"Wah, menarik sekali pendapatmu, Bung," kata Pak Surya, "Lanjutkan!"

"Pak Budi pun tidak menolak ide itu, bukan?" katanya kemudian. "Tetapi baginya, pensiun adalah fase di mana seseorang bisa memperlambat langkah, menikmati hasil kerja keras, dan lebih fokus pada kebahagiaan pribadi tanpa beban tanggung jawab besar. beliau melihat pensiun sebagai hak, bukan samata-mata kelemahan."

Hening suasana, sedang malam semakin larut meski bukan gula kecemplung air. Pelayan sudah tutup warung. Peserta persamuhan menarik napas panjang. Tidak ada yang kecewa, tidak ada yang tersakiti oleh penjelasan Si Bung. Baik Pak Surya maupun Pak Budi dapat menerima "wejangan" filsuf muda yang ikut hadir dalam persamuhan itu,

"Dari perbedaan pandangan ini, kita bisa belajar bahwa pensiun bukan hanya soal berhenti bekerja, tetapi juga soal bagaimana seseorang memaknai hidup," kata Si Bung seperti hendak mengakhiri perkataannya. "Bagi yang melihat hidup sebagai perjalanan tanpa akhir, pensiun adalah ilusi. Tapi bagi yang melihat hidup sebagai siklus dengan fase-fase yang harus diterima, pensiun adalah kenyataan yang wajar. Demikian menurut pandangan saya, Bapak-bapak."

"Wah, terima kasih, Bung ternyata seorang yang bernas dan bijak," kata Pak Surya, "Bung tentu banyak membaca buku-buku filsafat.

Si Bung menjawab, "Buku komik yang saya baca, Pak."

Pak Surya dan Pak Budi yang semula saling bersitegang karena perbedaan pendapat menjadi saling pandang dan mengangguk-angguk puas. Mereka bersalaman dan bahkan berpelukan tanda persahabatan.

"Oh ya, apa pesan terakhirmu sebelum persamuhan ini kita tutup?" tanya Pak Surya kepada Si Bung yang siap-siap beranjak.

"Pada akhirnya, apakah kita memilih untuk 'tidak pernah pensiun' seperti Pak Surya atau menerima pensiun sebagai fase hidup seperti Pak Budi, yang paling penting adalah bagaimana kita tetap merasa berarti, bahagia, dan bermanfaat bagi orang lain," kata Si Bung benar-benar berlalu dan menghilang ditelan keremangan malam.

(Selesai)