Fin de Siecle
BANGSA Eropa pada zaman old bicara mengenai akhir abad yang, dalam istilah Perancis, disebut “Fin de Siecle”. Tapi, kiranya istilah itu muncul untuk menggambarkan berakhirnya suatu era. Yakni masa pesta pora kelas menengah atas di Eropa pada pengujung abad 19.
Di Inggris, di bawah pemerintahan Ratu Victoria, warga negara makin berjaya. Kapal-kapal pesiar mereka mengarungi samudera, bahkan beberapa sempat berlabuh di bumi Nusantara. Di Belanda, Ratu Wilhelmina, yang lengkapnya Wilhelmina Helena Pauline Marie van Orange-Nassau, sangat dijunjung tinggi.
Saya, dulu sekali... Sering memimpikan kehidupan yang, kapan saja, bisa menikmati kehidupan bersemi seperti ini. Ada orkestra, tonil, sandiwara, baca-puisi, nyanyi, dan menikmati lagu indah dengan syair yang dalam seperti orang Eropa bisa menikmati Rhonda yang melantunkan country music "Teardrops Over You" sampai meneteskan air mata, namun mereka juga merogoh saku untuk membayar keindahan.
Di Batavia, saya baca, pada masa meneer Du Bus, kesenian dan berbagai pertunjukan kerap dipergelarkan di sudut-sudut kota. Sungguh sebuah peradaban di mana sikap feodal di satu sisi, namun menjunjung tinggi seni di sisi lain. Tetapi di dalam seni, semua kelas dan status lebur ke dalam apa yang disebut nilai universal.
Atau seperti orang-orang menikmati Alan Jackson & George Jones melalui lagu dan syair "A Good Year For The Roses".
Beberapa waktu saya berada pada masa "Fin de Siecle", bersama kawan-kawan yang suka seni, musik, sastra,dan mencintai keindahan.
Kiranya gambaran masa lampau tentang seorang penyair yang demikian ini: mata sayu, krempeng, kucel. Hidup Senin-kemis, bergantung pada honor dari Penerbit, dan SKS --sandal kopiah sarungan.
Saya melawan stempel seperti itu. Sehingga dalam sesi baca puisi pun --mengenakan stelan jas.