Ekonomi

SAWIT| Renungan Pagi, 24 Agustus 2012

Rabu, 12 Mei 2021, 22:02 WIB
Dibaca 1.228
SAWIT| Renungan Pagi, 24 Agustus 2012
Turut menikmati booming sawit.

Di sepi pagi. Tepi sebuah desa....

Kabut masih menggantung di ujung kampung. Saya telah meninggalkannya, sejak SMA. Namun, ada semacam bisikan. Hati ini selalu rindu kembali ke sana. Kata orang, itulah: panggilan tanah kelahiran.

Saya memang orang kampung. Tapi bukan kampungan. Kata orang, ayahku juragan tanah. Tidak banyak. Hanya sekitar 50 hektar saja. Itu hasil keringatnya bekerja. Sebagai karyawan kecil sebuah yayasan. Sen demi sen ia kumpulkan. Kadang, pinjam. Potong gaji.

Untung kami tanam sawit, 8 tahun lalu. Jika tidak, tidak bisa turut menikmati booming emas hijau itu. Lagi pula, untuk apa idealisme? Kita mati-matian mempertahankan lahan tetap hijau lestari, orang lain menikmatinya. Betul kata adikku: harusnya, dana reboisasi dan pelestarian hutan, langsung ke pemilik lahan.

Meski anak kandung, saya tak sudi minta jatah tanah ayah begitu saja. Saya mafhum. Jika bukan saat ini, nanti kelak kemudian hari. Ia bisa jadi silang sengketa keluarga. Harta warisan kadang memisahkan saudara.

Saya tak mau hal itu terjadi. Saya bersumpah, bersama-sama saudara-saudara kandung: sekali-kali kita jangan "berkelahi", apalagi sampai didengar orang, tentang warisan orang tua. Apalagi, warisan itu sampai memisahkan. Maka tanah ayah kubeli secara resmi. Sekitar 4 hektar di suatu kawasan, separuh sebuah mungguk. Ada surat jual belinya. Ada SKT-nya.

Kembali ke pagi, yang dini....

Bertahun-tahun kami telah mati mempertahankan idealisme tanaman industri ramah lingkungan, seperti: karet, kopi, dan koko (cokelat), akhirnya runtuh tahun 2012. Ketika saya, dan adik bungsu ragil saya, Fidel. Kami duduk dan berdiskusi di sepi pagi tepi desa. Sembari memandang ke muka. Ke luas hamparan tanah pusaka moyang kami. Sekitar 50 hektar. Hijau  mendominasi lingkungan itu, meski kemarau.

Lihatlah! Orang luar (daerah dan suku) menjadi kaya di tanah kita. Mereka membeli lahan penduduk, sedikit demi sedikit. Berbagai caranya. Prosesnya lama. Dan mereka sabar. Ada yang kawin mawin dengan penduduk setempat. Setelah itu, membawa sanak keluarganya. Ada yang dengan mula-mula membuka warung. Ada yang jualan sayur. Lama-lama memiliki lahan. Lalu menanam sawit.

Kita mati-matian mempertahankan setiap jengkal tanah, hutan rimba. Untuk apa pada akhirnya? Kita yang punya, selagi hidup, tidak menikmati. Tentu, tidak semua lahan digarap. Dan ditanami sawit. Sekitar 2/3  tetap dibiar hutan lestari. Untuk diwariskan kepada anak cucu. Cukup sepertiga saja total lahan kita tanami sawit, untuk dinikmati 7 tahun ke muka.

Saat renungan pagi itu, karet sekilo/ a rp 11.000. Namun, kami yang berpendidikan tinggi, memperkirakan, karet akan jatuh suatu waktu diganti sintesis.

Sejak akhir masa pemerintahan SBY, harga karet terjun bebas dan hingga kini memasuki saat kritis, seperti akan berhenti bernapas. Sehingga saya memutuskan: sebagian kebun karet kami, sudah beralih fungsi. Prek dengan karet. Itu produk zaman kegelapan! Meski, harus diakui, karet sangat berjasa di zaman baheula. Karet yang membiayai kami bisa sekolah, ketika SMP-SMA.

Akhirnya, saya dan adik, menanam sawit. Mati dengan idealisme, tak ada guna! Sama dengan ayam mati di lumbung padi! Saya, dan adik saya, tidak setuju pun; plantasi sawit tetap jalan.

Buah renungan kami tiba pada pepatah, "If you can't bite them, join them!"

Jika kamu tidak bisa mengalahkan mereka, bergabunglah dengan mereka!

Adalah sangat musykil sekali. Mana bisa semut melawan gajah? Perusahaan swasta, yang dimiliki orang asing dan Jakarta, telah pun menggurita di mana-mana, di tanah kita. Termasuk BUMN/D. The show must go on! Drama industri sawit, tetap jalan. Tak ada yang bisa menahan.

Dalam sandiwara itu, mungkin kita tidak bisa jadi pemain utama. Minimal jadi pemeran pembantu. Atau, setidaknya, ada peranlah di dalamnya. Asal jangan jadi penonton saja! Miris. Sekali lagi. Lagi-lagi sekali lagi: miris jika jadi penonton sandiwara yang diselenggarakan di paggung kita!

Andaikata dana reboisasi, dan pemeliharaan hutan sampai kepada pemilik lahan, kami akan pertahankan dan pelihara warisan nenek moyang itu. Namun, kami bernazar: sumber air penduduk, yang turun dari gunung kami di mana air terjun setinggi 25 meter yang mengalir sampai jauh akhirnya le laut itu, tidak akan diapa-apakan. Kami membelinya untuk masa depan dan semua.

Kini, kami mulai menikmati hasil sawit. Tanah kami subur, di kaki bukit, bekas huma dan rimba. Banyak unsur haranya. Setandan sawit, umur 8 tahun, 15-30 kg. Jadi, rata-rata per tandan 20 kg. Mendekati ideal. Idealnya produksi sawit 25 ton/ hektar/tahun. Akan semakin naik beratnya, seiring dengan bertambahnya usia. Puncaknya produksi sawit adalah usia 9 - 16 tahun. Setandan diperkirakan rata-rata: 25 kg, proyeksi melihat kondisi saat ini.

Terus terang. Dari sekian banyak komoditas (karet dan lada), sawit adalah ATM uang. Saya sendiri baru punya sekitar 10 hektar sawit. Dari jumlah itu, 6 hektar sudah produksi. 4 hektar beli kavling orang, usianya baru 4 tahun. Dan masih buah pasir.

Adikku lebih banyak lagi kebun sawitnya.Ia seorang yang ulet. Yang pandangannya pas dengan saya. Wawasannya pun luas. Beberapa kali saya ajak ke Jakarta, menyibak wawasan. Agar tidak jadi katak di bawah tempurung. Saya pernah bawa dia jalan-jalan ke pusat agrowisata, di Puncak. Kami berdua kongsi sejak lama. Jika biasa berbagi untung, bagian dia selalu lebih banyak. Saya yang mengaturnya. Dan Fidel tidak pernah menolak.

Ke depan, sawit akan semakin berjaya. Kini harga tandan buah segar (TBS) perkilo, di kampungku a rp 2.130.

Tidak usah banyak. Jika saja setiap keluarga punya 3 hektar sawit, dengan produksi 2 ton/hektar. Tinggal kalikan saja pendapatannya. 3 (hektar) x 2 (ton) x rp 2.130. Sebulan, dua kali panen.

Nah, dengan penghasilan yang demikian itu. Tidak perlu lagi jadi pegawai, jadi bawahan (kuli) orang lain. Bisa atur waktu dan manajemen diri sendiri. Bisa ke mana-mana. Bisa salurkan hobi. Banyak waktu untuk keluarga, teman, dan handai tolan.

Dalam sandiwara itu, mungkin kita tidak bisa jadi pemain utama. Minimal jadi pemeran pembantu. Atau, setidaknya, ada peranlah di dalamnya. Asal jangan jadi penonton saja! Miris. Sekali lagi. Lagi-lagi sekali lagi: miris jika jadi penonton sandiwara yang diselenggarakan di paggung kita!

Renungan pagi itu sungguh menyentuh: Bisakah idealisme itu dimakan? Toh, kamu mati-matian mempertahankan hijau lahanmu, orang (luar) tetap menanam sawit. Mereka kaya di tanahmu. Lha, kamu sendiri seperti tikus mati dalam lumbung, padahal kamu yang punya lumbung itu.

Untung kami tanam sawit, 8 tahun lalu. Jika tidak, tidak bisa turut menikmati booming emas hijau itu.

Ca' ileh geh nyinot tumokng onya. Demikian peribahasa dalam bahasa kami, Jangkang, rumpun suku Bidayuh. Yang jika diterjemahkan: Turut berjalan di belakang orang. Tak juga ketinggalan kereta.

Renungan pagi itu, menjadi tindakan. Pada waktunya, jadi kenyataan.

Penduduk lokal harus turut menikmati booming sawit.

***

(Filsuf memang kerjanya selalu merenung, berpikir, dan menggugat kemapanan. Dan memang ayahku bilang, kalau ditanya orang, "Kerja anak saya itu: Filsuf").

Tags : ekonomi